JAKARTA – Gubernur Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) yang juga Ketua Badan Kerjasama (BKS) Provinsi Kepulauan mewakili delapan provinsi kepulauan yang ada di Indonesia, H Ali Mazi SH pada periode keduanya kali ini, kembali konsen memperjuangkan pengesahan RUU Daerah Kepulauan menjadi UU, dengan melibatkan dukungan penuh dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI.
Melalui berbagai upaya lobi-lobi tingkat nasional yang dilakukan oleh Ketua BKS Provinsi Kepulauan, H Ali Mazi SH bersama para anggota Provinsi Kepulauan di Indonesia, pihak DPD RI mendukung kegiatan pertemuan High Level Meeting Badan Kerjasama Provinsi Kepulauan, yang menghadirikan para pihak berkompeten untuk membedah permasalahan keterlambatan pengesahan RUU Daerah Kepulauan menjadi UU, dimana telah diperjuangkan sejak 16 tahun silam, sejak awal periode pertama kepemimpinan H Ali Mazi SH sebagai Gubernur Provinsi Sultra.
Dalam pertemuan High Level Meeting Badan Kerjasama Provinsi Kepulauan yang berlangsung di Gedung Nusantara Empat Kompleks Parlemen MPR-DPR RI, Jakarta Rabu (6/10/2021), Gubernur Sultra H Ali Mazi SH meminta agar pengesahan RUU menjadi UU Daerah Kepulauan tidak tertunda lagi pada sidang DPR RI Tahun 2021.
“Kami mohon agar tidak tertunda lagi, karena ini tinggal diketok saja. Semua persyaratan, saya kira, telah rampung apalagi sejak 16 tahun lalu dan sudah masuk empat periode, yang masing-masing dua periode di DPR RI Tahun 2004-2009, dan dua periode di DPR RI yakni Tahun 2009 -2019. Karena UU Nomor 3 Tentang Pertambangan saja, kita orang daerah tidak tahu apa-apa, tiba-tiba langsung di ketok, sementara ada hak kepala daerah yang dicabut. Lalu mengapa RUU Daerah Kepulauan ini tertunda-tunda padahal terkait pemerataan pembangunan di wilayah NKRI,” ucap Ali demikian sapaan akrabnya.
Gubernur Sultra, H Ali Mazi SH menerangkan, UU Daerah Kepulauan tersebut tidak lain berbicara tentang pembagian kue secara merata agar tidak terjadi ketimpangan dan kebuntuan, khususnya 8 Provinsi Daerah Kepulauan yang ada di NKRI dalam membangun Indonesia termasuk wilayah kepulauannya. Hal ini juga telah dicita-citakan Bapak Presiden Pertama RI, Ir Soekarno yang ingin mewujudkan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, dengan segala potensi dimiliki untuk mejadi poros maritim dunia.
“UU Daerah Kepulauan ini sangat luar biasa, sehingga jika terjadi penundaan dalam pengesahannya, tentu menjadi hal yang cukup aneh. Olehnya, melalui kesempatan ini, kami meminta kepada para pemangku kebijakan dan seluruh stake holder terkait, bersama bahu-membahu membangun bangsa dan negara NKRI agar tidak terjadi kepincangan. Kami percaya sepenuhnya, bahwa Ibu Ketua DPR RI bersama seluruh anggota yang terhormat, tidak akan menyia-nyiakan harapan kami,” tutur orang nomor satu Provinsi Sultra ini.
Gubernur Sultra menerangkan, High Level Meeting Badan Kerjasama Provinsi Kepulauan tersebut, tidak lain untuk menguatkan kembali solidaritas percepatan pembahasan dan pengesahan RUU Tentang Daerah Kepulauan menjadi UU.
“Mewakili para Gubernur Anggota BKS Provinsi Kepulauan di Indonesia, kami mengucapkan terimakasih kepada DPD RI yang telah bekerjasama dangan kami dalam memfasilitasi peyelenggaraan kegiatan ini, guna memenuhi aspirasi dan kebutuhan rakyat Indonesia, khususnya lingkup cakupan Provinsi Kepulauan sebagai bagian integral dari wilayah NKRI. Tak lupa kepada Ibu Ketua DPR RI yang telah berkenan bersama, meskipun secara virtual,” terangnya lagi.
Jika melakukan flashback, lanjutnya lagi, perjuangan untuk pemerataan dan optimalisasi pembangunan daerah kepulauan telah dilakukan sejak 16 tahun silam, saat dirinya masih menjabat Gubernur Sultra pada periode pertama, bersama delapan Provinsi Kepulauan, yang kini telah pensiun karena telah mencapai dua periode kepemimpinan.
“Jika diibaratkan, kami hanya meminta pembagian kue secara merata, kalau tidak merata tentu akan ada anak tiri dan kandung, sedangkan NKRI tentu tidak boleh ada perbedaan dan semua merupakan anak kandung, sehingga dalam pembagian hak tidak ada perbedaan. Apalagi diketahui bersama, kawasan timur merupakan termiskin, bahkan ada kecamatan di Sultra yang belum memiliki listrik, padahal telah diperjuangkan melalui PLN, namun hingga hari ini belum juga terpasang,” ungkapnya.
Dia melanjutkan, ditengah kondisi tersebut terlebih dihadapkan pada pandemi Covid-19, terdapat berbagai persoalan, salah satunya pada bidang pendidikan, dimana menganjurkan anak-anak untuk belajar secara virtual.
“Bisa dibayangkan bagaimana nasib anak-anak ini selama pandemi. Mereka adalah anak-anak kita, pejuang, penerus, dan pengganti kita dimasa depan. Jika mereka tidak mendapatkan pendidikan yang sama sesuai standar nasional, tentu ini sangat memprihatinkan. Inilah salah satu permasalahan nyata dialamai daerah kepulauan, yang wajib kita perjuangkan, agar pembagian kue bisa merata. Daerah Sultra merupakan salah satu daerah kaya, kita memiliki keluatan luar biasa, pertambangan, daratan, pertanian, hingga perkebunan, tetapi sampai hari ini masih miskin dan termiskin,” keluhnya.
16 tahun silam, masih dia, ketika menjadi Gubernur Sultra pada periode pertama, dan kini kembali menjadi Gubernur Sultra periode kedua, berharap agar perjuangan mendorong UU Daerah Kepulauan bisa terwujudkan, dalam rangka memperjungkan hak-hak daerah kepulauan yang memiliki karakteritis daerah tersendiri.
“Bagaimana mungkin bisa, daerah-daerah kepulauan di negara ini jumlah DAU nya dihitung melalui jumlah wilayah dan penduduk. Tentu tidak akan bisa sama dengan di Pulau Jawa. Salah satu kabupaten di Bogor saja, jumlah penduduknya mencapai 6 juta, sedangkan Sultra se provinsi hingga hari ini hanya 3 juta jiwa terus, bagaimana cara menghitungnya. Waktu saya jadi Gubernur Sultra periode 2003-2008, jumlah penduduk kurang lebih 3 juta jiwa, kok hari ini menjadi 2 juta 7 ratus jiwa. Apalagi dihitung dari jumlah wilayah, saat air laut surut itu bisa mencapai 3 kilo meter jauhnya, namun saat air nya naik kembali, kepulauan hampir-hampir tidak memiliki daratan lagi. Jadi memang harus ada pertimbangan kepulauan,” paparnya.
Dia mengungkapkan, di Sultra terdapat Suku Bajo yang merupakan warga asli Indonesia, dimana memiliki wilayah tetapi tidak mempunyai hak, diantaranya tidak memiliki hak keperdataan dengan alasan Suku Bajo mendirikan rumah di laut. Sedangkan Sultra menerima transmigrasi dari daerah Jawa, begitu tiba di Sultra langsung diberikan hak keperdataan dua hektare dan segala kebutuhannya, sedangkan masyarakat Suku Bajo yang ada di pesisir pantai Sultra, tidak memiliki hak keperdataan.
“Jadi bagaimana mungkin Suku Bajo ini bisa memperjuangkan hak-haknya seperti orang-orang kita yang ada di daratan. Padahal mereka merupakan garda terdepan dalam menghadapi serangan dari laut dan mengelolah laut dengan baik. Suku Bajo hidup sebagai nelayan tradisional, mereka bisa makan dan hidup tetapi tidak memiliki uang tunai, sehingga sulit memberikan pendidikan kepada anak-anaknya. Ini salah satu hal yang sangat memprihatinkan,” ucapnya sedih.
Kesedihan Gubernur Sultra tak sampai di situ saja, dia juga mengungkapkan keprihatinannya melihat kehidupan masyarakat pada salah satu kecamatan di Sultra, tepatnya di Batu Atas yang belum memiliki listri, air, bahkan pohon pun sulit tumbuh. Untuk memenuhi kebutuhan, masyarakat harus membeli singkong dari Jawa Timur melalui tukar menukar antar nelayan.
“Ini adalah satu permasalahan dari sekian banyaknya yang dialami daerah-daerah kepulauan di Indonesia. Tugas kita sebagai anak-anak bangsa untuk melihat dan meringankan penderitaan mereka,” katanya.
Gubernur Sultra mengenang, melalui deklarasi Ambon Tahun 2005, dirinya dipercayakan menjadi Ketua BKS Provinsi Kepulauan. Deklarasi Ambon juga membahas tentang forum kerjasama antar pemerintahan daerah Provinsi Kepulauan hingga disepakatinya pembentukan Badan Kerjasama Provinsi Kepulauan di Ternate. Dalam perjalan perjuangan tersebut, telah dilaksanakan berbagai agenda pertemuan untuk menggalang dukungan dari berbagai stake holder, yang bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat di daerah kepulauan, melalui pembentukan regulasi yang memberikan kewenangan kepada dearah provinsi yang bercirikan kepulauan, untuk mengelolah dan mengatur sumber daya alam maupun sumber daya manusianya.
“Sumber daya manusia tidak maju, kalau membaca saja susah, apalagi masih menggunakan lilin atau lampu strongking, sementara Sultra cukup kaya akan SDA. Setelah melalui berbagai iktiar dilakukan, alhamdulillah puji sukur kepada Allah SWT, hasil dari berbagai upaya terbut adalah lahirnya RUU Tentang Daerah Kepulauan, yang berisikan kewenangan daerah provinsi dan kabupaten kota kepulauan untuk mengelolah SDA serta SDM dimiliki,” terangnya.
Gubernur Sultra melanjutkan, dalam RUU Daerah Kepulauan, tidak hanya mencakup daerah provinsi kepulauan yang berjumlah 8 provinsi, tetapi juga mencakup 86 daerah kabupaten kota kepulauan, dimana sebagaian besar adalah bagian dari 8 provinsi anggota BKS, dan selebihnya tidak tergabung dalam badan kerjasa BKS Provinsi Kepulauan.
RUU Daerah Kepulauan tersebut, masih dia, akhirnya menjadi inisiasi DPD RI yang pada tahun 2020 lalu masuk dalam program legislasi nasional prioritas DPR RI, akan tetapi hingga berakhirnya masa sidang DPR RI tahun 2020, RUU ini belum juga disahkan. Kini tahun 2021, RUU ini kembali masuk ke dalam Program Legislasi Nasional Prioritas DPR RI, yang diantaranya bertujuan untuk :
1. Menjamin kepastian hukum bagi pemda daerah di daerah kepulauan.
2. Mengakui dan menghormati kekhususan dan keragaman geografis dan sosial budaya daerah kepulauan.
3. Mewujudkan pembangunan daerah kepulauan yang berkeadilan
4. Mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berdaya saing.
5. Meningkatkan kesejahteraan rakyat secara bekelanjutan, memberikan perlindungan, dan keberpihakan terhadap hak-hak masyarakat di daerah kepulauan.
Sebagai ketua BKS Provinsi kepulauan, baik sebelum maupun setelah masuknya RUU ke dalam program legislasi nasional prioritas DPR RI, pihaknya terus aktif dalam berbagai upaya dalam mendorong percepatan pengesahan RUU Daerah Kepulauan, antara lain pada 27 Januari 2020 di Ruang Rapat Komite Satu DPD RI, Ketua BKS Provinsi Kepulauan bersama anggota mengikuti rapat dengar pendapat umum, dengan agenda membahas dan pendalaman tentang RUU, yang diikuti diantaranya Ketua Komite Satu DPD RI, Ketua Perancang UU DPD RI, Ditjen Bangda Kemendagri, Ketua Tim Ahli RUU Kepulauan, Asisten Pemerintahan dan beberapa tim kelompok kerja dari BKS.
Selanjutnya, membuat surat kepada Gubernur Anggota BKS Provinsi Kepulauan dengan nomor 009 tanggal 18 Desember 2020, perihal permintaan dukungan dari para anggota DPD RI dan anggota DPR RI terkait percepatan pembahasan RUU Daerah Kepulauan. Pada 1 April 2020 bertempat di ruang rapat pimpinan DPD RI di Gedung Nusantara Tiga, Lantai Delapan, dirinya bersama anggota menghadiri rapat koordinasi yang dimpimpin Wakil Ketua I DPD RI, Letjen TNI Marinir (purn) DR Nono Sampono MSi. Pada 31 Mei 2021 bertempat di ruang Rapat Gubernur Sultra, Ketua BKS Provinsi Sultra bersama anggota mengikuti rapat kerja Badan Legislasi DPR RI, dalam rangka sosialisasi proglegnas prioritas tahun 2021.
“Melalui kesempatan itu, kami telah mengkomunikasikan kepada ketua dan anggota Badan Legislasi DPR RI tentang isu-isu aktual dan urgen tentang perlunya UU Daerah Kepulauan, dalam menciptakan pemerataan pembangunan di seluruh wilayah NKRI, sekaligus mendorong pemanfaatan dan optimalisasi sumber daya yang terkandung di kepulauan sebagai penggerak pembangunan bangsa, yang selama ini terkesan belum maksimal. Sehingga kedepan lebih terfokus dan berkontribusi lebih besar bagi pembangunan nasional, menuju kemandirian bangsa dan Indonesia di masa depan,” paparnya.
Kemudian pada Juni 2021, lanjutnya, RUU ini masuk menjadi hak inisiatif DPD RI. Desember 2021, di Gedung Tiga Lantai 8 DPD telah melakukan pertemuan kembali dengan DPD RI, yang salah satunya mendukung kegiatan High Level Meeting Badan Kerjasama Provinsi Kepulauan, bertempat di Gedung Nusantara Empat Kompleks Parlemen MPR-DPR RI, yang sebelumnya direncanakan tergelar di salah satu daerah di Sultra.
“Kegiatan ini merupakan inisiasi Ketua DPD RI yang didukung oleh 8 provinsi kepulauan. Awalnya kami merencanakan di salah satu daerah di Sultra, namun saran dari unsur pimpinan DPD RI, sehingga kegiatan terlaksana di sini. Meskipun RUU telah masuk dalam prioritas pembahasan dan Presiden RI sudah mengeluarkan surat penugasan kepada sejumlah kementerian terkait untuk membahas RUU ini, namun tidak lantas berhenti untuk diperjuangkan, karena hal ini harus mendapatkan perhatian serius dari semua pemangku kebijakan, mulai tingkat pusat hingga provinsi, kabupaten dan kota dalam cakupan wilayah kepulauan. Kita semua sepakat mencapai cita-cita mulia untuk pemerataaan pembangunan di Indonesia, yang kini sudah mendekati puncaknya dan tidak boleh ditunda lagi, mengingat mencakup kemaslahatan bangsa serta negara,” paparnya lagi.
Melalui forum tersebut, Gubernur Sultra mengajak seluruh stake holder yang ada di provinsi kepulauan untuk menguatkan solidaritas serta mensinergiskan pikiran dan langkah, guna mendorong pemerintah pusat dan DPR RI dalam percepatan pembahasan dan pengesahan RUU ini.
“Kepada rekan-rekan gubernur, wali kota, dan bupati untuk bersama-sama melakukan komunikasi yang intens dan lobi-lobi politik kepada para perwakilan kita di daerah, yang kini duduk di pusat untuk mendorong pengesahan RUU ini. Insya Allah, kami bersama 8 Gubernur Provinsi Kepulauan bersama para bupati dan wali kota akan menghadap Bapak Presiden RI untuk menindaklanjuti hal ini. Kami berharap, ini bukan lagi saatnya voting karena dari segi jumlah, kami daerah kepulauan Indonesia bagian timur tentu akan kalah, melainkan soal kebijakan,” harapnya.
Dalam High Level Meeting Badan Kerjasama Provinsi Kepulauan tersebut, Wakil Ketua I DPD RI, Letjen TNI Marinir (purn) DR Nono Sampono MSi mengungkapkan, jika RUU Daerah Kepulauan tersebut telah diperjuangkan selama empat periode, sehingga menjadi catatan penting untuk diperlukannya suatu regulasi khusus, dalam mengatur ruang kewenangan dan anggaran daerah kepulauan.
“Latar belakang proses perjuangan RUU Daerah Kepulauan ini karena terjadi disparitas pembangunan nasional jawa dengan non jawa, kota dan desa, KBI dan KTI, pulau besar dengan kepulauan. Kemudian pembangunan nasional terlalu berpihak kepada KBI karena penduduk lebih padat dan pusat industri dibangun di KBI atau pulau-pulau besar serta infrastuktrunya lebih lengkap. Sedangkan kepulauan serba tertinggal, termasuk kebutuhan dasar juga infrastuktur, dan masih termiskin,” ucapnya.
Dia menerangkan, dalam membangun republik, terdapat sejumlah daerah yang memiliki otonomi khusus seperti Aceh, Yogyakarta, dan Jakarta karena memiliki kekhususan, artinya terdapat asismetri spesifikasi daerah dan kebutuhan daerah yang menuntut hal tersebut, sehingga negara memberikannya. Demikian dengan daerah kepulauan, juga memiliki masalah dan kekhususan.
“Delapan provinsi kepulauan ini karena memiliki karakteristik dan memiliki masalah klaster, sehingga Papua dan daerah kepulauan tersebut menjadi cita-cita besar Presiden RI melalui nawacita dan mewujdukan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Satunya sudah terjawab yakni Papua, tinggal daerah kepulauan lagi. Kalau ini bisa diwujudkan, maka bisa menjawab permasalahan yang ada di kawasan timur Indonesia,” yakinnya.
Dia mengakui, jika RUU tersebut merupakan sebuah desain hukum untuk optimalisasi kehadiran negara, dalam mewujudkan kemajuan dan kesejahteraan di daerah kepulauan, sehingga bukan hanya janji kepada daerah.
“RUU ini telah selesai di DPD RI dan kini ada di DPR RI. Presiden RI juga telah mengutus tujuh kementerian untuk ikut pembahasan RUU ini, namun sampai sekarang belum dilakukan. Oleh karena itu, inilah yang menjadi persoalan kita dan akan kita bahas jalan apa yang bisa ditempuh serta mencari tahu permasalahan penundaan ini. Kami juga akan mendampingi Ketua BKS Provinsi Kepulauan bersama para anggotanya saat menghadap Presiden RI,” tutupnya. (Rls)